Sabtu, 17 Maret 2012

Saya Terlalu Banyak Berbicara


Awalnya, setahun terakhir saya merasa lebih banyak bicara daripada berkarya. Saya memang tetap berkarya. Saya tetap berusaha profesional. Tapi saya merasa output kreatif yang saya hasilkan belum mencapai tahapan hebat. Sekali lagi, slogan itu menghantam saya sendiri: Good is not enough!
Jangan-jangan karena saya mulai terjebak rutinitas. Jangan-jangan karena saya mulai merasa nyaman dengan kondisi keseharian saya sendiri. Jangan-jangan... Karena saya terlalu banyak bicara. 

Refleksi saya pada apa yang saya lakukan sepanjang 2011 kemarin menunjukkan ketidakefektifan saya dalam memanfaatkan waktu saya yang memang terbatas ini.

Gawat!

Kesadaran seperti inilah yang tercetus di kepala saya saat mulai memikirkan untuk melakukan perjalanan ini: menjelajahi 40 kota dalam 40 hari untuk berbagi, berdiskusi, bersilaturrahim, bercengkerama membincangkan hal-hal apa saja untuk memajukan negeri ini. Dengan siapapun yang saya temui dalam perjalanan ini.

Pada 2011, bekerja sebagai Managing Director di Petakumpet – perusahaan kreatif yang saya dirikan bersama teman-teman Diskomvis  ISI1994 – adalah tanggung jawab utama saya. Di sela-sela kesibukan itu, saya sebisa mungkin mencoba memenuhi undangan dari
beberapa pihak untuk sharing, tukar menukar pengalaman, seminar, workshop tentang kreativitas, entrepreneur, creativepreneur, creative giving, hal-hal yang main idea-nya adalah kreatif. Sepanjang 2011 itu, setidaknya saya melakukan presentasi rata-rata 4-6 kali sebulan, sekitar 50an kali setahun, di banyak tempat di negeri ini.

Saya mulai dikenal sebagai pembicara kreatif. Bahkan dianggap motivator (duh!). Bahkan diminta menjadi khotib Jumatan. Menjadi mentor bisnis. Menjadi coach presentasi. Menjadi apapun, yang intinya saya harus berbicara di depan banyak orang. Melihat ke belakang, saat saya SD lalu SMP, dimana saya menderita gagap alias sulit bicara di depan umum: ini adalah keajaiban yang nyata buat saya. Sungguh!

Tapi ketika saya mulai memikirkan dengan tenang: ternyata menjadi pembicara tidak pernah menjadi impian saya yang terbesar. Saya gali lebih dalam lagi – jika Allah mengijinkan – saya lebih ingin dikenal sebagai kreator. Sebagai orang yang menghasilkan karya-karya yang hebat. Sebagai pencipta. Bukan sebagai pembicara. Apalagi motivator.

Berbicara itu – dari pengalaman saya setelah lebih dari 300 kali presentasi – bukanlah hal yang sulit. Selama kita menggeluti dan menjalankan apa yang kita bicarakan, semuanya akan mengalir lancar. Permasalahannya adalah, ternyata hal-hal hebat di luar berbicara itu mulai jarang saya lakukan. Waktu saya tersita untuk mengurusi hal-hal regular di kantor, terbang kesana-kemari bertemu klien atau memenuhi undangan, brainstorm dengan tim kreatif untuk menghasilkan iklan yang mahal tapi agak kompromis, hal-hal seperti itu.
Saya merasa kurang syarat untuk hanya membicarakan hal-hal yang sama, award yang itu-itu juga, cerita-cerita tentang kesuksesan masa lalu.

Lalu muncullah pemikiran ekstrem ini: bagaimana jika saya puasa untuk tidak berbicara dulu dengan publik dalam waktu tertentu. Hanya untuk fokus pada minat utama saya: menjadi kreator. Saya kira itu ide menarik. Saya merasa excited

Tapi saya melihat lagi fenomena yang sedang berlangsung progresif di negeri ini: kreativitas sedang menjadi primadona. Ekonomi kreatif sedang ngebut membangun pondasi pengembangannya, bahkan dengan mendirikan kementerian sendiri. Jika saya menarik diri di titik ini, tiba-tiba saya merasa bersalah.

Selama ini, kalau kita bicara tentang kreativitas, yang paling sering mendapat porsi adalah teman-teman yang berada di kota besar, utamanya di ibukota propinsi. Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, dst. Tapi teman-teman di kota-kota yang size dan aksesnya lebih kecil, jarang mendapatkan porsi untuk bisa mengenal, memahami dan memanfaatkan gelombang baru yang bernama ekonomi kreatif ini. Padahal, di era serba internet seperti sekarang: semua fasilitas online yang menghubungkan ujung jari kita dengan seluruh informasidi dunia sudah banyak tersedia.

Teman-teman di kota-kota kecil itu - termasuk Rembang, kota kelahiran saya - hanya memerlukan api kecil untuk menyalakan passion. Memantapkan keyakinan. Menghidupkan mimpi. Membaca peluang yang berseliweran. Mereka adalah orang-orang cerdas dan pekerja keras yang hanya perlu ditemani, untuk bergerak merangkai masa depan dari tempatnya berpijak. Menjadi sukses dan berakar di tempatnya sendiri, tak berkiblat ke Jakarta, London, New York atau kota-kota besar lainnya. Karena jamannya, telah memungkinkan itu semua terjadi.

SBY dari Pacitan. Boediono dari Blitar. Soekarno dari pinggiran Surabaya. Jokowi dari Solo. Wahyu Aditya dari Malang. KH Mustofa Bisri dari Rembang.


Harus ada yang bergerak untuk menumbuhkan bintang-bintang baru, yang mampu bertahan dari kemilau ibukota. Berjuang habis-habisan untuk sukses di kotanya masing-masing. Agar negeri ini bisa maju serempak, tidak hanya terpusat pergerakannya. Jika pemerintah begitu sibuknya sehingga tak melihat ruang-ruang kosong ini, saya memilih tidak menyalahkan. Saya memilih untuk bergerak. Jika memungkinkan, bekerjasama tentu akan jauh lebih baik.

Jadi, beginilah deal-nya: saya akan melunasi hutang saya untuk semampu saya berkontribusi membangun fondasi mindset - character building kalo kata Bung Karno - dengan berkeliling di 40 kota selama 40 hari berturut-turut untuk melaksanakan
Creative Sharing dan Creative Giving

Mengapa 40 hari? 

Entahlah, saya hanya merasa angka 40 itu menyimpan aura spiritual. Dan saya pernah belajar, jika ingin menanamkan sebuah habit (kebiasaan) tertentu, minimal membutuhkan waktu 40 hari sebagai pondasinya. Pengen membiasakan Sholat Tahajud, cobalah merutinkannya dalam 40 hari. Pengen ahli menulis, cobalah menulis setiap hari selama 40 hari. 40 hari adalah pondasi. Semacam syarat untuk sukses setelah melewati jam terbang 10.000 jam ala Malcolm Gladwell di Outliers.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgF87JGePUChdcX21n2veHmujlNlPGL99hgELsK3OvPUlGOTAUwI88rDJofA8AJkKfiqg9pweZleGJxv4Xtru-7NDP5GKs3TIBvDrmvnreTJpjlCAh7GdA-qNsmsY-p-U0WCeTNF8n7WhmH/s1600/malcolm_gladwell_outliers-796414.jpg

Jadi setiap hari akan ada 2 kegiatan sekaligus yang saya lakukan di setiap kota: Creative Sharing dengan komunitas kreatif, kampus atau umum dengan EO profesional. Dan setelahnya atau sebelum acara itu – di hari yang sama – melaksanakan acara Creative Giving: berbagi dengan teman-teman di panti asuhan, anak-anak yatim, mereka yang kekurangan. Acaranya bisa berupa penyampaian bantuan, nonton film bareng, seminar gratis, pengajian bersama, apa saja yang sesuai dengan kontekstual permasalahan yang kita temui di kota tersebut. Akan menarik juga jika Creative Giving ini bisa bekerjasama dengan teman-teman di Akademi Berbagi, Tangan Di Atas, Pagi Berbagi, Sedekah Rombongan atau komunitas-komunitas berbasis kebaikan yang lain.

Setelah berembug dengan Mas Iqbal dan teman-teman Rekarupa yang mempunyai idealisme yang sama besarnya untuk bergerak memajukan negeri ini lewat pemberdayaan anak-anak bangsa, disusunlah sebuah rangkaian acara yang bertajuk ‘Berbagi Ide Segar’, 20 Mei – 29 Juni 2012 melewati 40 kota se-Jawa Bali. Acara ini juga melibatkan Koperasi Kreatif Bebarengan yang didirikan oleh teman-teman di Petakumpet yang akan menyiapkan merchandise dan bekerjasama dengan pihak-pihak yang ingin memperkenalkan produk-produk kreatifnya ke 40 kota.

Bagimana dengan kota-kota yang tidak dilewati perjalanan ini, Mas? 

Nah, itu juga jadi concern saya. Jika kota Anda tidak dilewati dan jaraknya tidak terlalu jauh, saya sarankan untuk datang. Beberapa kota mungkin bertiket, beberapa mungkin gratis tergantung kerjasama dengan EO lokalnya. Tapi jika tidak memungkinkan juga - misalnya untuk yang di Kalimatan, Sumatera dan luar pulau lainnya - teman-teman di Rekarupa sudah menyiapkan website khusus untuk acara ini  - tunggu launching-nya - yang berisi laporan perjalanan dan liputan, serta live streaming acaranya. Agar gaung dan spiritnya menyebar ke seluruh negeri.

Kembali ke pemikiran awal saya di atas, setelah acara ini saya akan puasa berbicara di depan publik sampai akhir tahun, 31 Desember 2012. Bukan karena apa-apa, tapi saya merasa inilah hal yang harus saya lakukan jika saya mau fokus menggapai cita-cita. Inilah konsekuensi pilihan yang harus saya ambil, walaupun itu sulit. Jadi – dengan segala hormat - jika ada teman-teman yang merencanakan untuk mengundang saya di 2012 ini: mohon disesuaikan jadualnya dengan kunjungan saya di kota-kota yang telah saya tuliskan ini. Insya Allah cara-cara untuk bekerjasama dengan EO utama acara ini (Rekarupa) akan diumumkan segera, minggu depan.

Saat saya berpuasa bicara setelah perjalanan 40 hari ini, fokus saya akan tertuju pada rencana IPO (Initial Public Offering) PT. Petakumpet Creative Network pada 2015 besok, 3 tahun sejak sekarang, saat saya berusia 40 tahun. Masih banyak kekurangan yang harus saya dan tim di Petakumpet perbaiki untuk menuju IPO tersebut, sebagai salah satu milestone mewujudkan impian tergila untuk menjadi The Most Admired Company in The World pada tahun 2020.


Apakah impian itu akan menjadi kenyataan? Saya tak tahu. Saya dan tim saya di Petakumpet hanya bisa berdoa, berupaya sekeras mungkin. Melakukan hal-hal yang bisa kami lakukan dengan cara-cara yang terbaik dan tidak memusingkan hal-hal yang tidak atau belum bisa kami lakukan saat ini. Saya percaya, jika kami memiliki cukup keyakinan untuk terus melangkah, Tuhan akan tunjukkan jalan-Nya. Dan seringkali pula, Dia akan siapkan pertolongan dari arah yang tak pernah kita sangka-sangka.

Saya perlu menceritakan ini semua – utamanya sebagai cermin bagi diri saya sendiri – sekaligus sebagai penjelasan awal kepada teman-teman sekalian karena saya akan sangat membutuhkan dukungan, bantuan dan kerjasamanya untuk acara yang akan kami lakukan dalam waktu yang tidak lama lagi ini.


40 hari perjalanan mengelilingi pulau Jawa dan Bali – sambil tetap menjalankan tugas utama saya sebagai CEO Petakumpet secara mobile – adalah tantangan yang menarik sekaligus menggairahkan. iPad dan Blackberry akan menjadi mobile office saya selama perjalanan ini, sekaligus sebagai beta tester sistem manajemen baru bagi Petakumpet di masa depan.

Dan ah ya, selama perjalanan 40 hari itu saya mungkin juga akan jarang bertemu keluarga kecil yang saya cintai sepenuh-penuh hati saya. Buah hati saya Alia (4 bulan) yang sedang lucu-lucunya dan ibunya yang sedang imut-imutnya. Karena merekalah saya bersedia melakukan hal-hal beresiko seperti ini. Sebagai suami dan ayah, saya mungkin berbeda daripada kebanyakan suami dan ayah yang lain yang bisa tertib menjalani kewajibannya setiap hari berada di rumah. Jika pun saya tidak bisa selalu hadir di sisi orang-orang yang saya cintai, saya ingin selalu hadir di hati mereka, dimanapun saya berada. Karena saya membawa cinta itu di hati saya - selain membawa fotonya di BB dan dompet - kemanapun saya pergi.


Semoga Tuhan menemani perjalanan ini. Juga perjalanan Anda sekalian, teman-teman saya dalam menggapi impian masing-masing. Se-absurd apapun impian itu, semustahil apapun kelihatannya. Mustahil kan bahasa kita, manusia yang penuh keterbatasan. Tapi bersama-Nya: tak ada yang tak mungkin.

People with passion can change the world 
Steve Jobs

Inilah yang ingin saya lakukan. Mengubah dunia dengan impian dan tindakan-tindakan kecil, tapi didasari keyakinan. Dan konsistensi. Bukan karena mengikuti trend atau pendapat orang, tapi karena mempercayai suara hati. Dengan keyakinan ini, melangkah akan ringan. Resiko – sebesar apapun – akan tenang untuk dijalani.

Bismillah, mohon doanya untuk langkah awal ini. Semoga kita bisa berjumpa di kota-kota yang saya dan tim akan kunjungi. Insya Allah…